25 Tahun Menunggu Cinta
Saya tentu saja terkejut ketika mendapat kabar Dik Sarah mau menikah. Terkejut karena calon suaminya adalah Rian.
“Rian
yang mana, Dik?” tanya saya berkerut kening. Ya, karena saya hapal betul siapa
saja teman-teman Dik Sarah. Selain masih saudara, saat masih di kampung dia
adalah tetangga. Delapan belas tahun lalu saya sekolah ke kota, menikah, dan
hanya hari raya saja pulang ke kampung. Meski begitu, saya hapal betul siapa
saja teman-teman dan kenalan Dik Sarah. Kami masih tetap berkomunikasi. Dik
sarah sering curhat tentang banyak hal.
“Rian
Masri, Teh. Teman semasa kecil,” jawab Dik Sarah.
Saya
tidak pernah tahu kabar selanjutnya tentang keluarga Rian Masri. Apalagi Dik
Sarah yang bisa dibilang gadis sederhana yang tidak suka menonjolkan diri di
media sosial. Dia punya akun facebook tapi dengan nama samaran dan foto hanya
pemandangan. Pastinya Rian sendiri kesusahan mencari identitasnya.
“Bagaimana
ceritanya, kok bisa nyambung kembali?” tanya saya setelah sampai di kampung dan
bertemu Dik Sarah.
“Rian
yang mencari saya ke sini, ke kampung kita. Katanya, dia tidak pernah bisa
melupakan saya, meski dia tinggal di Kalimantan, lalu ke Eropa mengikuti
bapaknya yang sekolah lagi. Lalu, dia melamar kepada Bapak dan Ibu.”
Tentu
saja saya semakin bengong. “Kok, bisa begitu, Dik? Begitu hebatnya sihir
cintamu,” canda saya.
“Katanya,
dia selalu ingat saat kecil dulu terjatuh ke jurang saat main di kebun. Waktu
itu kaki dan tangannya, juga pelipisnya, penuh luka. Saya membersihkannya,
mengobatinya dengan getah daun pisang. Padahal saya sendiri sudah lupa lagi
peristiwa itu.”
Saya
memeluk Dik Sarah erat sekali. Begitu menjakjubkannya cinta. Begitu kita hanya
bisa bengong dan melongo di hadapannya, di haribaan CINTA yang sering
mengejutkan. @@@
0 Response to "25 Tahun Menunggu Cinta"
Posting Komentar